Selasa, 17 Januari 2012

ekonomi


   PERKEMBANGAN HUTANG LUAR NEGERI
               
  Indonesia menggunakan hutang luar negeri untuk mempercepat pembangunan ekonominya. Hutang luar negeri dimasukkan sebagai penerimaan pemerintah dalam APBN setiap tahunnya. Sumber pinjarnan Indonesia selama ini berasal dari negara-negara dan badan-badan bantuan multilateral yang tergabung dalam Consultative Group for Indonesia 2) atau CGI (sebelurnnya Inter Governmental Group on Indonesia, IOGI). Dengan tingkat suku bunga yang rendah, tenggang waktu (grace period) dan masa pembayaran cicilan pokok dan bunganya yang cukup panjang, maka pinjaman dari COl merupakan sumber pembiayaan utama. Meskipun hutang luar negeri menjadi komponen yang penting dalam struktur pembiayaan pembangunan, namun dalam menjalankan kebijaksanaannya, pinjaman dana yang berasal dari luar negeri tersebut didasarkan pada beberapa kriteria pokok yang tujuannya untuk menyelaraskan antara kebutuhan akan pinjaman dana luar negeri dengan politik luar negeri yang bebas aktif, sebagaimana telah digariskan dalam GBHN. Selain itu, efisiensi dan efektifitas penggunaan dana menjadi pertimbangan utama, sehingga kriteria pokok tersebut diarahkan pada tiga hal, yaitu:
1.      Bantuan luar negeri tidak boleh dikaitkan dengan politik
2.      Syarat-syarat pembayaran harus dalam batas-batas kemampuan untuk membayar kembali
3.      Penggunaan bantuan luar negeri haruslah untuk pembiayaan proyek-proyek produktif dan bermanfaat.
                 Namun kenyataannya, ketergantungan Indonesia akan hutang luar negeri semakin besar sehingga menjadi suatu "keharusan". Terus masuknya hutang luar negeri dengan persyaratan lunak dan tingkat suku bunga yang rendah melalui konsorsium IOGI dan COl merupakan instrumen kebijaksanaan yang konstan sejak awal Pemerintahan Orde Baru. Sebagai akibat dari kemerosotan ekonomi Orde Lama dan menutup defisit anggaran pembangunan, Pemerintah Orde Baru memerlukan pinjaman luar negeri untuk program stabilisasi dan rehabilitasi perekonomian nasional. Dalam sidang pertama pada tahun 1967, IGGI memutuskan memberikan bantuan sebesar US$ 200 juta dengan persyaratan lunak, masa pembayaran 25 tahun dan tenggang waktu 7 tahun, dan tingkat suku bunga 3 persen per tahun. Sejak itu hutang luar negeri terus meningkat.
                 Alasan mendasar dibutuhkannya hutang luar negeri adalah karena tabungan domestik tidak mencukupi, yang menunjukkan bahwa upaya pemerintah untuk memobilisasi dana domestik tidak pernah mengimbangi besarnya kebutuhan dana untuk investasi. Kesenjanganan tara tabungan dalam negeri baik pemerintah dan swasta menyebabkan hutang luar negeri dan PMA merupakansuatu "keharusan" bagi pembiayaan investasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar