PERKEMBANGAN
HUTANG LUAR NEGERI
Indonesia menggunakan hutang
luar negeri untuk mempercepat pembangunan ekonominya. Hutang luar negeri
dimasukkan sebagai penerimaan pemerintah dalam APBN setiap tahunnya. Sumber
pinjarnan Indonesia selama ini berasal dari negara-negara dan badan-badan
bantuan multilateral yang tergabung dalam Consultative Group for Indonesia
2) atau CGI (sebelurnnya Inter Governmental Group on Indonesia, IOGI).
Dengan tingkat suku bunga yang rendah, tenggang waktu (grace period) dan
masa pembayaran cicilan pokok dan bunganya yang cukup panjang, maka pinjaman
dari COl merupakan sumber pembiayaan utama. Meskipun hutang luar negeri menjadi
komponen yang penting dalam struktur pembiayaan pembangunan, namun dalam
menjalankan kebijaksanaannya, pinjaman dana yang berasal dari luar negeri
tersebut didasarkan pada beberapa kriteria pokok yang tujuannya untuk
menyelaraskan antara kebutuhan akan pinjaman dana luar negeri dengan politik luar
negeri yang bebas aktif, sebagaimana telah digariskan dalam GBHN. Selain itu,
efisiensi dan efektifitas penggunaan dana menjadi pertimbangan utama, sehingga kriteria
pokok tersebut diarahkan pada tiga hal, yaitu:
1. Bantuan
luar negeri tidak boleh dikaitkan dengan politik
2. Syarat-syarat
pembayaran harus dalam batas-batas kemampuan untuk membayar kembali
3. Penggunaan
bantuan luar negeri haruslah untuk pembiayaan proyek-proyek produktif dan
bermanfaat.
Namun kenyataannya,
ketergantungan Indonesia akan hutang luar negeri semakin besar sehingga menjadi
suatu "keharusan". Terus masuknya hutang luar negeri dengan persyaratan
lunak dan tingkat suku bunga yang rendah melalui konsorsium IOGI dan COl
merupakan instrumen kebijaksanaan yang konstan sejak awal Pemerintahan Orde Baru.
Sebagai akibat dari kemerosotan ekonomi Orde Lama dan menutup defisit anggaran
pembangunan, Pemerintah Orde Baru memerlukan pinjaman luar negeri untuk program
stabilisasi dan rehabilitasi perekonomian nasional. Dalam sidang pertama pada
tahun 1967, IGGI memutuskan memberikan bantuan sebesar US$ 200 juta dengan persyaratan
lunak, masa pembayaran 25 tahun dan tenggang waktu 7 tahun, dan tingkat suku
bunga 3 persen per tahun. Sejak itu hutang luar negeri terus meningkat.
Alasan mendasar dibutuhkannya
hutang luar negeri adalah karena tabungan domestik tidak mencukupi, yang menunjukkan
bahwa upaya pemerintah untuk memobilisasi dana domestik tidak pernah
mengimbangi besarnya kebutuhan dana untuk investasi. Kesenjanganan tara tabungan
dalam negeri baik pemerintah dan swasta menyebabkan hutang luar negeri dan PMA
merupakansuatu "keharusan" bagi pembiayaan investasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar